Kembali |
Nomor Perkara | Pemohon | Termohon | Status Perkara |
1/Pid.Pra/2019/PN Wkb | 1.ALEXANDER SAMBA KODI,SH 2.RINTO DANGGALOMA, S.KOM |
KEPALA KEPOLISIAN RESOR WAIKABUBAK | Minutasi |
Tanggal Pendaftaran | Kamis, 18 Jul. 2019 | ||||||
Klasifikasi Perkara | Sah atau tidaknya penetapan tersangka | ||||||
Nomor Perkara | 1/Pid.Pra/2019/PN Wkb | ||||||
Tanggal Surat | Kamis, 18 Jul. 2019 | ||||||
Nomor Surat | - | ||||||
Pemohon |
|
||||||
Termohon |
|
||||||
Kuasa Hukum Termohon | |||||||
Petitum Permohonan | KANTOR ADVOKAT/PENGACARA MIKHAEL FEKA, S.H., M.H & PARTNERS Alamat Dusun Dimudede, Desa Waimangura, Kecamatan Wewewa Barat, Kab. Sumba Barat Daya Hand Phone (HP) : 082 236 193 427/0852 3927 6769 Email:mikhael_feka@yahoo.co.id Facebook: Mikhael Feka Perihal : Permohonan Praperadilan Lampiran : 1 (satu) jepit
Kepada Yth. Ketua Pengadilan Negeri Waikabubak Di Waikabubak
Dengan Hormat, Kami yang bertanda tangan di bawah ini :
MIKHAEL FEKA, SH.M.H Semuanya Advokat/Penasihat Hukum pada Kantor Advokat “MIKHAEL FEKA, SH.M.H & Partners”, beralamat sementara di Dusun Dimudede, Desa Waimangura, Kecamatan Wewewa Barat, Kabupaten Sumba Barat Daya dalam hal ini berdasarkan Surat Kuasa Khusus, tertanggal 16 Juli 2019 sebagaimana terlampir dan karena itu baik secara bersama-sama atau sendiri-sendiri bertindak untuk dan atas nama klien kami: Nama : ALEXANDER SAMBA KODI, S.H TTL : Sumba Barat, 04-03-1965 Pekerjaan : Pegawai Negeri Sipil (PNS) Agama : Kristen Kewarganegaraan : Indonesia Alamat : Dusun Dimudede, Desa Waimangura, Kec. Wewewa Barat, Kab. Sumba Barat Daya. Selanjutnya disebut Pemohon I Nama : RINTO DANGGALOMA, S.KOM TTL : Kupang, 01-03-1985 Pekerjaan : Pegawai Negeri Sipil (PNS) Agama : Kristen Kewarganegaraan : Indonesia Alamat : Perumahan BTN RT/RW: 000/000, Kelurahan/Desa Pogotena,Kec. Laura, Kab. Sumba Barat Daya. Selanjutnya disebut Pemohon II Untuk selanjutnya Pemohon I dan Pemohon II disebut PARA PEMOHON; Dengan ini Para Pemohon, hendak mengajukan permohonan praperadilan terhadap: KEPALA KEPOLISIAN REPUBLIK INDONESIA, cq. KEPALA KEPOLISIAN DAERAH NUSA TENGGARA TIMUR, cq. KEPALA KEPOLISIAN RESOR WAIKABUBAK selaku PENYIDIK, Bertempat kedudukan di Jl. Bhayangkara, Komerda Kota Waikabubak, Kabupaten Sumba Barat, Provinsi Nusa Tenggara Timur, selanjutnya disebut: TERMOHON DASAR HUKUM PERMOHONAN
Bahwa dasar hukum praperadilan diatur dalam Pasal 77 Undang-Undang Nomor: 8 Tahun 1981 Tentang Kitab Undang-Undang Hukum Acara Pidana (KUHAP), yang menetapkan “Pengadilan Negeri berwenang untuk memeriksa dan memutus, sesuai dengan ketentuan yang diatur dalam undang-undang ini, tentang: Sah atau tidaknya penangkapan, penahanan, penghentian penyidikan atau penghentian penuntutan;
Bahwa selanjutnya Mahkamah Konstitusi Republik Indonesia mengeluarkan Putusan Nomor: 21/PUU-XII/2014, tanggal 28 April 2015 dengan amarnya antara lain menyatakan “Pasal 77 huruf a Undang-Undang Nomor: 8 Tahun 1981 tentang Kitab Undang-Undang Hukum Acara Pidana (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 1981, Nomor: 76, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia 3209) bertentangan dengan Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945, sepanjang tidak dimaknai termasuk penetapan tersangka, penggeledahan dan penyitaan”;
Bahwa, Pasal 2 ayat (1) Peraturan Mahkamah Agung Republik Indonesia Nomor: 4 Tahun 2016 Tentang Larangan Peninjauan Kembali Putusan Praperadilan menetapkan: “Obyek Praperadilan adalah: Sah atau tidaknya penangkapan, penahanan, penghentian penyidikan atau penghentian penuntutan, penetapan tersangka, penyitaan dan penggeledahan;
Bahwa selain itu telah terdapat beberapa putusan pengadilan yang memperkuat dan melindungi hak-hak tersangka, sehingga lembaga praperadilan juga dapat memeriksa dan mengadili keabsahan penetapan tersangka seperti yang terdapat dalam perkara berikut : Putusan Pengadilan Negeri Bengkayang No. 01/Pid.Prap/2011/PN.BKY tanggal 18 Mei 2011
OBYEK PERMOHONAN PRAPERADILAN
Bahwa obyek praperadilan yang dimohonkan untuk diperiksa dalam permohonan ini adalah Penetapan Para Pemohon sebagai Tersangka oleh Termohon dalam dugaan perkara Tindak Pidana Korupsi sebagaimana diatur dalam Pasal 12 huruf e UU No.31 Tahun 1999 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi sebagaimana telah dirubah dengan UU Nomor 20 Tahun 2001 tentang perubahan atas UU UU No.31 Tahun 1999 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi dan Para Pemohon telah dilakukan penahanan oleh Termohon berdasarkan Surat Perintah Penahanan Nomor: SP.HAN./175/VII/2019/Reskrim tertanggal 05 Juli 2019 untuk Pemohon I Alexander Samba Kodi, S.H dan Surat Perintah Penahanan Nomor: SP.HAN./176/VII/2019/Reskrim tertanggal 05 Juli 2019 untuk Pemohon II Rinto Dangga Loma, S.Kom. (Bukti P-1);
Bahwa oleh karena obyek dari permohonan praperadilan ini adalah menyangkut Penetapan Para Pemohon sebagai Tersangka sebagaimana dijelaskan pada poin (1) tersebut di atas maka berdasarkan Pasal 77 Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1981 tentang Kitab Undang-Undang Hukum Acara Pidana dan Putusan Mahkamah Konstitusi Republik Indonesia Nomor: 21/PUU-XII/2014, tanggal 28 April 2015 serta Pasal 2 ayat (1) Peraturan Mahkamah Agung Republik Indonesia Nomor: 4 Tahun 2016 Tentang Larangan Peninjauan Kembali Putusan Praperadilan termasuk dalam obyek praperadilan yang menjadi kewenangan Pengadilan Negeri Waikabubak untuk memeriksa dan mengadilinya.
ALASAN-ALASAN PERMOHONAN
Bahwa pada tanggal 04 Juli 2019, Termohon menerbitkan Surat Perintah Penyidikan Nomor: Sprin.Dik/249/VII/2019 kepada Para Pemohon dan dilakukan Penahanan oleh Termohon berdasarkan Surat Perintah Penahanan Nomor: SP.HAN./175/VII/2019/Reskrim tertanggal 05 Juli 2019 untuk Pemohon I Alexander Samba Kodi, S.H dan Surat Perintah Penahanan Nomor: SP.HAN./176/VII/2019/Reskrim tertanggal 05 Juli 2019 untuk Pemohon II Rinto Dangga Loma, S.Kom dalam dugaan perkara Tindak Pidana Korupsi sebagaimana diatur dalam Pasal 12 huruf e UU No.31 Tahun 1999 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi sebagaimana telah dirubah dengan UU Nomor 20 Tahun 2001 tentang perubahan atas UU UU No.31 Tahun 1999 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi;
Bahwa ketentuan hukum yang disangka dilanggar oleh Para Pemohon adalah ketentuan Pasal 12 Huruf (e) Undang-Undang Nomor: 31 Tahun 1999 Tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi sebagaimana diubah dengan Undang-Undang Nomor: 20 Tahun 2001 Tentang Perubahan Atas Undang-Undang Nomor: 31 Tahun 1999 Tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi;
Bahwa ketentuan Pasal 12 huruf (e) ) Undang-Undang Nomor: 31 Tahun 1999 Tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi sebagaimana diubah dengan Undang-Undang Nomor: 20 Tahun 2001 Tentang Perubahan Atas Undang-Undang Nomor: 31 Tahun 1999 Tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi, menetapkan Pasa 12 “ Dipidana dengan penjara seumur hidup atau pidana penjara paling singkat 4 (empat) tahun dan paling lama 20 (dua puluh) tahun dan pidana denda paling sedikit Rp.200.000.000,- (dua ratus juta rupiah) dan paling banyak Rp. 1.000.000.000,- (satu milyar rupiah), huruf (e) “pegawai negeri atau penyelenggara negara dengan maksud menguntungkan diri sendiri atau oramg lain secara melawan hukum, atau dengan menyalahgunakan kekuasaannya memaksa seseorang memberikan sesuatu, membayar, atau menerima pembayaran dengan potongan, atau mengerjakan sesuatu bagi dirinya sendiri;
Bahwa unsur-unsur yang harus dipenuhi agar seseorang dipandang telah melanggar Pasal 12 huruf (e) Undang-Undang Nomor: 31 Tahun 1999 Tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi sebagaimana diubah dengan Undang-Undang Nomor: 20 Tahun 2001 Tentang Perubahan Atas Undang-Undang Nomor: 31 Tahun 1999 Tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi, adalah: Unsur Setiap Orang;
Bahwa penetapan seseorang sebagai Tersangka yang disangka melakukan tindak pidana, yang memenuhi unsur-unsur dari Pasal 12 huruf (e) Undang-Undang Nomor: 31 Tahun 1999 Tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi sebagaimana diubah dengan Undang-Undang Nomor: 20 Tahun 2001 Tentang Perubahan Atas Undang-Undang Nomor: 31 Tahun 1999 Tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi, haruslah didasarkan atau didahului adanya“bukti permulaan” atau “bukti permulaan yang cukup” atau “bukti yang cukup” sebagaimana ditentukan dalam Pasal 1 angka 2 dan Pasal 1 angka 14 Undang-Undang Nomor: 8 Tahun 1981 Tentang Kitab Undang-Undang Hukum Acara Pidana (KUHAP). Pasal 1 angka 2 KUHAP menetapkan “Penyidikan adalah serangkaian tindakan penyidik dalam hal dan menurut cara yang diatur dalam undang-undang ini untuk mencari serta mengumpulkan bukti, yang dengan bukti itu membuat terang tentang tindak pidana yang terjadi dan guna menemukan tersangkanya”. Demikian pula Pasal 1 angka 14 KUHAP menetapkan “Tersangka adalah seorang yang karena perbuatannya atau keadaannya, berdasarkan bukti permulaan patut diduga sebagai pelaku tindak pidana”;
Bahwa Putusan Mahkamah Konstitusi Republik Indonesia Nomor: 21/PUU-XII/2014, tanggal 28 Oktober 2014, halaman 98 menyatakan “bukti permulaan, bukti permulaan yang cukup, bukti yang cukup” sebagaimana ditentukan dalam Pasal 1 angka 14, Pasal 17 dan Pasal 21 ayat (1) KUHAP haruslah ditafsirkan sekurang-kurangnya dua alat bukti yang termuat dalam Pasal 184 KUHAP dan disertai dengan pemeriksaan calon tersangkanya kecuali terhadap tindak pidana yang penetapan tersangkanya dimungkinkan dilakukan tanpa kehadirannya (in absentia). Hal ini berarti terhadap tindak pidana yang penetapan tersangkanya dimungkinkan dilakukan tanpa kehadirannya tersebut, tidak diperlukan pemeriksaan calon tersangka. Pertimbangan Mahkamah Konstitusi yang menyatakan pemeriksaan tersangka disamping dua alat bukti tersebut adalah untuk tujuan transparansi dan perlindungan hak asasi seseorang, agar sebelum seseorang ditetapkan sebagai tersangka sudah dapat memberikan keterangan yang seimbang dengan minimum dua alat bukti yang telah ditemukan oleh penyidik. Dengan demikian, berdasarkan alasan tersebut di atas, seorang penyidik dalam menentukan “bukti permulaan”, “bukti permulaan yang cukup”, “bukti yang cukup” sebagaimana dimaksud dalam Pasal 1 angka 14, Pasal 17 dan Pasal 21 ayat (1) KUHAP dapat dihindari adanya tindakan sewenang-wenang, terlebih lagi dalam menentukan bukti permulaan yang cukup selalu dipergunakan untuk pintu masuk bagi seorang penyidik dalam menentukan seseorang sebagai Tersangka;
Bahwa meskipun Pasal 1 angka 14 KUHAP dan Putusan Mahkamah Konstitusi Republik Indonesia Nomor: 21/PUU-XII/2014, tanggal 28 Oktober 2014 mewajibkan penetapan tersangka harus didasarkan atau didahului adanya “bukti permulaan”, “bukti permulaan yang cukup”, “bukti yang cukup” yakni minimum dua alat bukti yang termuat dalam Pasal 184 KUHAP disertai dengan pemeriksaan terhadap calon tersangka. Namun Termohon dalam menetapkan Para Pemohon sebagai Tersangka Tindak Pidana Korupsi tidak didasarkan adanya “bukti permulaan”, “bukti permulaan yang cukup” “bukti yang cukup”, melainkan penetapan Para Pemohon sebagai Tersangka semata-mata hanya didasarkan atas tindakan sewenang-wenang dan ketidakhati-hatian dari Termohon;
Bahwa perkara ini dimulai dengan Operasi Tangkap Tangan (OTT) oleh Termohon namun tidak ditemukan siapa yang menjadi pemberi suap dan siapa yang menjadi penerima suap sehingga prosedur penetapan Para Pemohon sebagai Tersangka catat yuridis/cacat prosedural;
Bahwa jumlah uang tunai yang diterima/disita oleh Termohon adalah sejumlah Rp. 577.072.000 (lima ratus tujuh puluh tujuh juta tujuh puluh dua ribu rupiah). (Bukti P-2);
FAKTA-FAKTA KESEWENANGAN TERMOHON DALAM PENETAPAN TERSANGKA
Bahwa Pasal 1 angka 14 KUHAP dan Putusan Mahkamah Konstitusi Republik Indonesia Nomor: 21/PUU-XII/2014, tanggal 28 Oktober 2014 mewajibkan penetapan tersangka harus didasarkan atau didahului adanya “bukti permulaan”, “bukti permulaan yang cukup”, “bukti yang cukup” yakni minimum dua alat bukti yang termuat dalam Pasal 184 KUHAP yang telah ditemukan oleh penyidik;
Bahwa prosedur untuk memperoleh “bukti permulaan”, “bukti permulaan yang cukup”, atau “bukti yang cukup” berupa minimum dua alat bukti yang termuat dalam Pasal 184 KUHAP tersebut, Termohon selaku Penyidik seharusnya berpedoman pada Pasal 1 angka 2 Undang-Undang Nomor: 8 Tahun 1981 Tentang Kitab Undang-Undang Hukum Acara Pidana (KUHAP), yang menetapkan: “Penyidikan adalah serangkaian tindakan penyidik dalam hal dan menurut cara yang diatur dalam undang-undang ini untuk mencari serta mengumpulkan bukti, yang dengan bukti itu membuat terang tentang tindak pidana yang terjadi dan guna menemukan tersangkanya”. Berdasarkan Pasal 1 butir 2 Undang-Undang Nomor: 8 Tahun 1981 Tentang KUHAP, maka prosedur penyidikan yang benar adalah harus melalui dua tahapan, yaitu pertama, mencari dan menemukan minimal 2 alat bukti yang sah dan relevan dengan unsur-unsur tindak pidana yang disangkakan sesuai amanat Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor: 21/PUU-XII/2014 dan kedua, menemukan dan menetapkan tersangkanya;
Bahwa akan tetapi tindakan penyidikan yang dilakukan oleh Termohon sampai dengan penetapan Pemohon sebagai Tersangka, tidak sesuai atau bertentangan dengan Pasal 1 angka 2 Undang-Undang Nomor: 8 Tahun 1981 Tentang KUHAP sebab Termohon menetapkan Pemohon sebagai Tersangka tanpa didasari bukti permulaan yang cukup tentang Perbuatan Pemohon Menyalahgunakan kewenangan atau menyalahgunakan kekuasaan memaksa Para Aparat Desa untuk mengikuti kegiatan Bimbingan Teknis Penataan Kewenangan Desa Kabupaten/ Kota dan Desa;
Bahwa sebaliknya berdasarkan Surat Pemohon I Nomor: DPMD.410/42/SBD/III/2019 perihal: Pemberitahuan Pelaksanaan Kegiatan Bimbingan Teknis Penataan Kewenangan Desa Kabupaten/Kota dan desa tertanggal 18 Maret 2019 yang ditujukan kepada Kepala Desa/ Pejabat Kepala Desa se-Kabupaten Sumba Barat Daya, yang isinya: (a) dalam rangka menindaklanjuti Surat Kementerian Dalam Negeri Republik Indonesia Direktorat Jenderal Bina Pemerintahan Desa Nomor: 140/236/BPD tanggal 9 Januari 2019 dan surat kementerian Dalam Negeri Nomor: 910/9956/SJ tangal 15 November 2018 hal pegalokasian Anggaran untuk Percepatan Penataan Kewenangan Desa di Provinsi, Kabupaten dan Kota serta desa, maka dengan ini diberitahukan kepada para kepala desa/ Pejabat Kepala Desa untuk mengalokasikan biaya bimbingan Teknis Penataan Kewenangan Desa Kabupaten/ Kota dan Desa secara Terkoodinasi dan terfokus; (b) Kegiatan Bimtek dimaksud diikuti oleh 4 (empat) orang per Desa yaitu Kepala Desa, Sekretaris Desa, Kaur Keuangan dan Ketua BPD; (c) Mengenai Tempat dan waktu pelaksanaan akan dikonfirmasikan lebih lanjut oleh Dinas Pemberdayaan Masyarakat dan Desa cq Bidang Pemerintahan Desa dan Kelurahan; (Bukti P.3);
Bahwa Surat Kementerian Dalam Negeri Republik Indonesia Direktorat Jenderal Bina Pemerintahan Desa Nomor:140/236/BPB, perilah acuan Pelaksanaan Kegiatan Bimbingan Teknis Penataan Kewenangan Desa Kabupaten/Kota dan Desa tertanggal 9 Januari 2019 yang ditujukan kepada Bupati/ Walikota di seluruh Indonesia, yang isinya (paragraf 1) dipermaklumkan dengan hormat, menindaklanjuti angka 3 surat Menteri Dalam Negeri Nomor:910/ 9956/SJ tanggal 15 November 2018 hal pengalokasian anggaran untuk percepatan penataan kewenangan desa di Provinsi, Kabupaten dan Kota serta desa, bersama ini disampaikan Acuan Pelaksanaan Bimbingan Teknis Kewenangan Desa Kabupaten/ Kota dan pelaksanaan Desa, (paragraf 2) Acuan ini dimaksudkan agar pelaksanaan kegiatan Bimbingan Teknis dimaksud dapat terselenggara dengan Terkoordinasi, terfokus dan berhasil guna dengan tujuan agar tahun 2019 seluruh kabupaten/ kota telah memiliki Peraturan Bupati/Walikota tentang daftar Kewenangan Desa berdasarkan Hak Usul dan Kewenangan Lokal Berskala Desa dan Seluruh Desa telah memiliki Peraturan Desa tentang Kewenangan Desa berdasarkan Hak Usul dan Kewenangan Lokal Berskala Desa; (Bukti P.4);
Bahwa berdasarkan bukti P.3 dan bukti P.4, telah membuktikan, Para Pemohon tidak melakukan perbuatan melawan hukum atau menyalahgunakan kewenangan dengan memaksa melainkan Para Pemohon menindaklanjuti surat dari kementerian Dalam Negeri Republik Indonesia Direktorat Jenderal Bina Pemerintah Desa (bukti P.3 dan bukti P.4);
Bahwa dengan demikian berdasarkan bukti P.3 dan bukti P.4, seharusnya Termohon tidak sampai menetapkan Para Pemohon sebagai Tersangka sebab Para Pemohon tidak melakukan hal yang dituduhkan oleh Termohon kepada Para Pemohon melakukan tindak pidana sebagaimana diatur dalam Pasal 12 huruf (e) Undang-Undang Nomor: 31 Tahun 1999 Tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi sebagaimana diubah dengan Undang-Undang Nomor: 20 Tahun 2001 Tentang Perubahan Atas Undang-Undang Nomor: 31 Tahun 1999 Tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi. Namun karena Termohon secara sewenang-wenang menetapkan Pemohon sebagai Tersangka, sehingga tindakan Termohon tersebut telah bertentangan dengan Pasal 1 angka 2 dan Pasal 1 angka 14 Undang-Undang Nomor: 8 Tahun 1981 Tentang KUHAP;
Bahwa proses hukum terhadap perkara a quo tanpa melalui proses prapenuntutan, penerbitan Surat Pemberitahuan Dimulainya Penyidikan (SPDP). Bahwa proses pemeriksaan penyidikan perkara a quo tanpa SPDP adalah tidak sah dan bertentangan dengan hukum sebagaimana tertuang dalam Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor: 130/PUU-XIII/2015 yang pada pokoknya menyatakan bahwa penyampaian SPDP oleh penyidik kepada jaksa penuntut umum, terlapor dan korban/pelapor dalam waktu paling lambat 7 (tujuh) hari setelah dikeluarkannya surat perintah penyidikan adalah kewajiban penyidik untuk menyampaikannya sejak dimulainya proses penyidikan sehingga proses penyidikan tersebut berada dalam pengendalian penuntut umum dan dalam pantauan Terlapor dan Pelapor;
PENUTUP Berdasarkan alasan yuridis dan fakta sebagaimana diuraikan diatas, maka melalui permohonan ini, Pemohon memohon kepada Ketua Pengadilan Negeri Waikabubak dan/atau Hakim yang ditetapkan memeriksa dan mengadili permohonan praperadilan ini, agar berkenan menjatuhkan putusan yang amarnya, sebagai berikut:
Mengabulkan permohonan praperadilan pemohon untuk seluruhnya;
Menyatakan hukum bahwa Penetapan Pemohon I Alexander Samba Kodi, S.H dan Pemohon II Rinto Dangga Loma, S.Kom sebagai Tersangka dalam Dugaan Tindak Pidana Korupsi Kegiatan Bimbingan Teknis Penataan Kewenangan Desa Kabupaten/Kota dan Desa sebagaimana diatur dalam Pasal 12 huruf (e) Undang-Undang Nomor: 31 Tahun 1999 Tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi sebagaimana diubah dengan Undang-Undang Nomor: 20 Tahun 2001 Tentang Perubahan Atas Undang-Undang Nomor: 31 Tahun 1999 Tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi adalah tidak sah dan tidak berdasarkan hukum karenanya tidak memiki kekuatan hukum yang mengikat;
Menyatakan hukum bahwa segala hasil penyidikan yang dilakukan oleh Termohon Terkait Dugaan Tindak Pidana Korupsi Kegiatan Bimbingan Teknis Penataan Kewenangan Desa Kabupaten/Kota dan Desa adalah tidak sah dan tidak berdasarkan hukum, karenanya segala hasil penyidikan tersebut dinyatakan tidak mempunyai kekuatan hukum yang mengikat;
Menyatakan hukum bahwa penetapan Tersangka atas diri Para Pemohon yang dilakukan oleh Termohon adalah tidak sah dan batal atau dibatalkan demi hukum;
Menyatakan bahwa proses pemeriksaan penyidikan terhadap Para Pemohon/Tersangka tanpa SPDP adalah tidak sah dan bertentangan dengan hukum;
Menyatakan tidak sah segala putusan atau penetapan yang dikeluarkan oleh Termohon yang berkaitan dengan penetapan Tersangka terhadap diri Para Pemohon oleh Termohon dan yang sifatnya merugikan Para Pemohon;
Membebankan biaya perkara yang timbul kepada negara.
Atau Mohon putusan yang seadil-adilnya.
Demikianlah permohonan ini, kami ajukan dan atas segala pertimbangan hukumnya tidak lupa kami ucapkan limpah terima kasih.
Waikabubak, 17 Juli 2019
HORMAT KUASA HUKUM PEMOHON
MIKAEL FEKA, SH.M.H.
Dr. MELKIANUS NDAOMANU, SH.,M.Hum
RYAN VAN FRITS KAPITAN, S.H., M.H
|
||||||
Pihak Dipublikasikan | Ya |